Di tahun 70-an mendiang cak Nur mengemukakan gagasan bahwa arti laa ilaha illallah adalah tiada tuhan melainkan Tuhan. Penekanan utama gagasan ini adalah mengartikan ilah dengan tuhan (t kecil) dan Allah adalah Tuhan (T besar). Tak pelak penerjemahan ini mengundang reaksi keras di kalangan ulama’ senior.
Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa hanya gitu saja kok sewot?
Persoalan penerjemahan itu bukan soal yang sederhana, meskipun tampaknya remeh temeh. Sebagai contoh, pelacur itu artinya pezina. Ketika kata itu diartikan dengan pekerja seks komersial, akan memberikan kesan positif secara sosial, karena berstatus sebagai pekerja. Dan bisa jadi suatu saat nanti akan ada organisasi pekerja seks komersial secara legal, sebagaimana pekerja-pekerja yang lain telah membuat serikat pekerja. Akibat lain dari istilah tersebut adalah orang yang melakukan zina dengan pacarnya dan tidak meminta upah tidak dikatakan sebagai pelacur. Dari contoh ini jelas, bahwa penerjemahan yang keliru membawa dampak yang cukup serius.
Kembali kepada persoalan tuhan. Ada dua kata dalam bahasa Arab yang diartikan dengan kata tuhan, yakni kata rabb dan kata ilah. Dua kata ini memiliki makna yang berbeda, tetapi mengapa arti ke dalam bahasa Indonesia cuma satu? Itulah keterbatasan bahasa, sehingga ketika bahasa tidak mampu lagi menerjemahkan sebuah kata, maka sebaiknya kata itu tidak diterjemahkan, tetapi dijelaskan saja maknanya.
Makna kata Rabb adalah Pencipta, Pemberi Rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Yang Memiliki seluruh alam dan Mengaturnya. Sedangkan makna kata ilah adalah sesuatu yang diagungkan, disembah, dicintai dan ditaati.
Kata rabb menekankan pada pengakuan tindakan Rabb. Maknanya, mengakui ketuhanan Allah dalam statusnya sebagai rabb ini adalah mengakui keesaan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Allah, seperti yang tercantum di atas; yakni mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, mengatur dan lain-lainnya.
Sementara itu kata ilah menekankan pada tindakan manusia. Sehingga pengakuan terhadap ketuhanan Allah dalam statusnya sebagai ilah ini harus diwujudkan dalam bentuk tindakan.
Jika kita memperhatikan manusia di sekitar kita saat ini, pasti kita akan melihat bahwa pada umumnya manusia mengakui Allah sebagai Pencipta alam semesta, Pengatur, Pemberi rizki, Pemilik alam dan seterusnya. Namun pengakuan itu tidak secara menggerakkan hati untuk melakukan peribadatan kepada-Nya. Ini baru mengakui Allah sebagai Tuhan dalam status sebagai Rabb, belum mengakui ketuhanan Allah dalam statusnya sebagai ilah.
Bahkan, sepanjang sejarahnya, manusia selalu mengakui Allah sebagai Rabb, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an tentang suku Quraisy yang musyrik itu,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?”(Yunus:31)
Ayat tersebut dengan sangat jelas menyatakan bahwa kaum Quraisy masih mengakui Allah sebagai pencipta dan pengatur alam semesta. Sayang, disamping mengakui Allah sebagai tuhan pengatur alam semesta mereka beribadah dan berdo’a selain kepada Allah juga beribadah dan berdo’a kepada patung-patung. Tindakan inilah yang menyebabkan mereka dinilai sebagai orang musyrik, menduakan Allah dengan yang lain dalam hal ibadah.
Meskipun menduakan Allah, atau menyekutukan Allah, namun pengakuan bahwa Allah itu Tuhan dalam makna Rabb tidak akan hilang dari lubuk hati manusia. Sebab Allah talah menciptakan manusia dengan fitrah mengakui ketuhanan Allah, sebagai Rabb. Perhatikan firman Allah;
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)“, (al-A’raf:172)
Lalu bagaimana dengan orang komunis yang menyatakan bahwa tuhan adalah candu? Bukankah mereka itu menolak adanya Pencipta alam semesta?
Ya! Lisan mereka memang mengatakan demikian. Mereka mengatakan demikian akrena kesombongan logika mereka. Tetapi itu hanya ada di lisan mereka, sedangkan hati kecil mereka sesungguhnya tetap mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini adalah Allah. Perhatikan firman Allah tentang kaum Dahriyyah (yang menolak adanya Allah).
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِينَ
Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran) nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan. (an-Naml:14)
Ayat di atas menegaskan bahwa orang yang mengingkari adanya Tuhan, sebabnya adalah karena gengsi dan sombong belaka. Fir’aun yang mengatakan,
“Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (an-Nazi’at:24),
ternyata pada akhir hidupnya sudah berusaha untuk mengucapkan laa ilaaha illallah. Namun belum sampai lengkap mengucap kalimat itu ia pun sudah mati.
Demikian juga ada kisah yang menyebutkan bahwa Karl Marx ketika akan mati minta didoakan oleh seorang pastur. Jika demikian, maka sesungguhnya dibalik kesombongan Marx itu dalam hati kecilnya yang paling dalam masih ada keyakinan tentang tuhan. Kalau tidak percaya sama sekali, untuk apa ia minta dido’akan?
Keyakinan adanya Tuhan Yang Menciptakan dan mengatur itu begitu kuat terpateri di dalam hati, karena yang memberikan adalah Allah sendiri. Renungkan kembali (al-A’raf;172). Informasi yang kita terima dari Allah dalam surat al-A’raf tersebut adalah, bahwa manusia ketika masih ada di alam ruh pernah ditanya oleh Allah tentang siapa Rabbnya, dan saat itu setiap manusia sudah menyaksikan bahwa Allah adalah rabbnya. Sayangnya ketika terlahir dan melihat keindahan dunia banyak di antara mereka yang lupa, apalagi kalau orang tuanya tidak mengingatkan akan persaksiannya itu, atau bahkan mengajarkan ajaran yang lain, sebagaimana sabda Rasul,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidaklah yang terlahir itu melainkan dilahirkan atas fitrah. Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Bukhari dan Muslim).
Fitrah pada hadis tersebut maknanya adalah Islam. Karena itu wajar, apabila manusia yang menolak eksistensi tuhan sebenarnya hanyalah pengakuan lisan yang didasarkan kepada kesombongan.
Tetapi perlu juga ditandaskan bahwa pengakuan bahwa Tuhan Yang maha pencipta itu esa saja belum menjamin seseorang dianggap sebagai muslim. Orang yang berketuhanan yang maha esa tidak dikatakan mukmin. Konteks kalimat tersebut menyiratkan bahwa tuhan berarti rabb. Mengakui Allah sebagai rabb semesta alam saja tidak cukup bagi seseorang untuk dianggap sebagai muslim.
Ini bukan mengada-ada. Iblis, tentu sangat percaya bahwa Yang menghidupkan dan mematikan adalah Allah. Buktinya Iblis meminta kepada Allah agar dibiarkan hidup sampai akhir jaman,
قَالَ أَنْظِرْنِي إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ () قَالَ إِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِينَ
“Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.” (al-A’raf:14-15).
Di dalam ayat ini Allah menginformasikan bahwa Iblis memohon kepada Allah untuk ditangguhkan kematiannya. Makna yang terkandung di dalamnya, Iblis meyakini adanya Allah, mengakui kekuasaan Allah, meyakini bahwa Allah lah yang menghidupkan dan mematikan. Dengan keyakinan seperti itu, iblis bukanlah seorang muslim, bahwkan di ayat yang lain dikatakan bahwa Iblis itu kafir,
فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
“Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah:34).
Nah, mengaku Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam statusnya sebagai rabb saja tidak cukup. Pengesaan Allah dalam tindakan-tindakanNya, menuntut kita untuk mengesakan-Nya dengan perbuatan kita, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (al-Baqarah:21)
Di dalam ayat di atas kita diperintahkan untuk menyembah Rabb kita. Maknanya, kalau soal Rabb semua manusia sudah meyakini, tetapi meyakini belum tentu menyembahNya. Karena itulah yang diperintahkan bukan meyakini rabb, tetapi menyembah rabb. Dengan menyembah Rabb itulah seorang manusia akan menjadi orang yang bertaqwa.
Penyembahan tuhan itulah inti tujuan penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (adz-Dzariyat:56).
Untuk mengingatkan manusia akan tugasnya hidup di dunia inilah Allah mengutus para Rasul ke tengah-tengah manusia. Firman Allah,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”,(an-Nahl:36)
Nah, sekarang, Sudahkah Anda benar-benar mengesakan Allah?
0 komentar:
Posting Komentar